Selasa, 27 Januari 2009

abalone itu makanan raja lhoooo

Makanan Raja-raja dari Nelayan Banggai
Masyarakat China telah lama mengenal kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu sebagai makanan yang lezat, bergizi tinggi, serta menambah vitalitas dan keperkasaan tubuh. Konon, ketiga biota laut itu menjadi makanan wajib bagi kalangan istana Kekaisaran China, setidaknya sejak zaman Dinasti Sung (960-1279).
Matahari baru saja beranjak dari peraduannya ketika Arifin (23) menyelesaikan penyelamannya yang terakhir, awal Mei lalu. Sejak kemarin malam, sudah puluhan kali ia menceburkan diri ke laut, menyelam sampai ke dasar, meraba karang-karang, dan kembali naik ke permukaan.
Di dasar laut, Arifin bermaksud mencari kerang yang berdiam di sekitar karang. Sayang, sampai subuh itu, hasil yang diperolehnya tidak banyak. "Hanya 15 ekor," kata Arifin yang ditemui di Pulau Masoni, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
Walau tidak banyak, sekitar satu kilogram kerang (dagingnya saja) yang didapat Arifin laku dijual Rp 50.000. Kerang jenis ini bukan seperti kerang bulu yang biasa dijual di pasar ikan dengan harga Rp 6.000- Rp 10.000 per kilogram.
Kerang yang dicari Arifin, juga nelayan lainnya di Pulau Masoni, adalah kerang mata tujuh (abalon). Bentuknya lonjong, dengan panjang rata-rata 7-10 cm dan lebar 3-4 cm. Disebut mata tujuh karena pada salah satu sisi cangkang kerang itu terdapat tujuh lubang kecil.
Kerang jenis ini merupakan salah satu komoditas laut andalan Kabupaten Banggai Kepulauan karena memiliki nilai ekonomis sangat tinggi dan tergolong langka. Selain di sana, sulit menemukan abalon di tempat lain.
Bila dijual dalam kondisi kering (hasil penjemuran), harga daging kerang mata tujuh mencapai Rp 350.000 per kilogram. Satu kilogram daging kerang mata tujuh kering biasanya hasil pengeringan dari 4 kilogram yang basah.
Harga di atas baru di tingkat pedagang pengumpul di Pulau Masoni kepada pedagang pengumpul di Banggai, ibu kota Banggai Kepulauan. Pengumpul dari Banggai lalu menjualnya kepada pengumpul di Makassar atau Jakarta dengan harga Rp 450.000-Rp 500.000 per kilogram. Di Jakarta, sebagian daging kerang ini dijual ke restoran dan hotel mewah. Sebagian lagi diekspor ke Singapura, Hongkong, China, Taiwan, Jepang, Australia, dan Amerika—tentu dengan harga jauh lebih mahal.
Penasaran bagaimana rasanya, Kompas bermaksud membeli daging kerang mata tujuh dari Dirman (26), seorang pengumpul di Pulau Masoni. Namun, niat itu terpaksa dibatalkan karena tidak satu pun dari 708 jiwa (174 keluarga) penduduk Pulau Masoni yang mengetahui bagaimana memasak atau mengolah kerang itu menjadi makanan.
"Kami memang tidak pernah memakan kerang ini, yang basah maupun yang kering. Tidak tahu memasaknya," kata Dirman seraya menambahkan, "Seandainya pun kami tahu, lebih baik dijual karena makan satu kilo kerang ini sama dengan makan satu karung beras."
Konsumsi istana
Keahlian mencari kerang mata tujuh dan teripang bukanlah keterampilan baru bagi nelayan di Banggai Kepulauan. Musni Lampe dalam makalahnya berjudul Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern (2003) mengungkapkan, pada abad ke-17, kapal-kapal dagang China beramai-ramai berlabuh ke Pelabuhan Somba Opu—pusat perekonomian Kerajaan Gowa waktu itu.
Maksud kedatangan mereka adalah mencari komoditas ekspor, seperti kerang mata tujuh, teripang, sirip hiu, penyu, dan sarang burung walet. Berbagai komoditas itu ditukar langsung dengan barang-barang bekas, seperti pakaian, tembikar, porselen, dan lilin. Sejak saat itulah nelayan di perairan Sulawesi mulai mencari kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu.
Kebiasaan masyarakat China mengonsumsi berbagai jenis biota laut di atas diperkirakan sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sejak zaman Dinasti Sung. Konon, kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu menjadi makanan wajib bagi kalangan istana Kekaisaran China.
Selain rasanya yang lezat, masyarakat China yakin biota laut itu memiliki banyak khasiat. Di antaranya sebagai obat berbagai jenis penyakit, vitalitas, memperpanjang umur, dan menambah keperkasaan laki-laki.
Keyakinan itu terus terpelihara sampai saat ini. Bahkan, penelitian Institut Kimia Universitas Los Banos, Filipina, mengungkapkan, teripang dapat menjadi obat Human Immunodeficiency Virus (HIV). Belum diketahui apakah penelitian itu terbukti benar atau tidak.
Menyantap kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu juga tidak lagi didominasi masyarakat China, tetapi oleh suku bangsa lainnya. Bahkan, mengonsumsi tiga jenis biota laut itu telah menjadi gaya hidup kalangan jetset di berbagai kota besar di belahan dunia.
Tomoya Akimichi dalam Coastal Foragers in Transition (Seri Ethnological Studies No 42: 1991, National Museum of Ethnology) menyebutkan, selain terkait dengan kenikmatan santapan, tujuan konsumen makan biota mahal itu tidak lain untuk memperkuat status sosialnya.
Dari pesisir pantai Pulau Masoni yang gelap karena belum terjangkau listrik, terbayang gemerlap lampu restoran dan hotel mewah di kota-kota metropolitan. Boleh jadi, mereka yang punya status sosial—atau mungkin lebih tepat status ekonomi—tinggi tengah menyantap kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu di sana.
Namun, di Pulau Masoni, saban malam para nelayan menyabung nyawa mencari tiga biota laut itu tanpa pernah merasakan nikmat, apalagi khasiatnya.
Sumber : REINHARD NAINGGOLAN dalam http://64.203.71.11/kompas-cetak/0706/22/Wisata/3619162.htm

Tidak ada komentar: