Selasa, 27 Januari 2009

Menjadikan Akuakultur Sebagai Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas Dan Berkelanjutan

Dengan potensi produksi yang sangat besar dan permintaan (demand) yang terus meningkat, perikanan budidaya (aquaculture) berpeluang untuk menjadi salah satu sektor ekonomi andalan (a leading sector) yang mampu menolong bangsa ini keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan menuju indonesia yang maju, makmur dan bermarrtabat. Betapa tidak, jumlah penduduk indonesia dan dunia yang terus meningkat yang diperkirakan bakal mencapai 300 juta jiwa dan 8 milyar jiwa pada (BPS, 2007 dan PBB, 2003) pada 2030, tentu akan membutuhkan bahan pangan (termasuk ikan dan seafood), energi, bahan farmasi, bahan kosmetika, dan berbagai bahan baku (raw materials) untuk beragam industri pengolahan (manufacturing) berbasis sumberdaya hayati perairan (aquatic living resources) yang jumlahnya berlipat ganda.
Saat ini konsumsi ikan secara nasional sekitar 28 kg/kapita. Bila pada 2010 dan 2030 mencapai 30 kg/kapita dan 45 kg/kapita (seperti tingkat konsumsi ikan di Thailand dan Malaysia sekarang), berarti untuk keperluan domestik saja diperlukan7,5 dan 13,5 juta ton ikan. Padahal, total produksi maksimal dari penangkapan di laut hanya sekitar 5,2 juta ton/tahun (80% dari total MSY) dan dari penangkapan di perairan umum (sungai, rawa, danau dan waduk) sekitar 0,5 juta ton/tahun. Selisih antara kebutuhan domestik dengan kemampuan total produksi perikanan tangkap tersebut merupakan potensi pasar dalam negeri bagi usaha perikanan budidaya. Belum lagi, kebutuhan pasar global (eksport) yang terus melambung. Sebagai ilustrasi, jika tingkat produksi tetap seperti sekarang, untuk wilayah asia saja pada 2010 diperkirakan akan kekurangan pasok ikan sebesar 24 juta ton (PCI, 2001)
Sementara itu, sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, indonesia merupakan negara dengan potensi produksi (suply capacity) berbagai produk perikanan budidaya terbesar di dunia. Sekitar 24,5 juta ha perairan laut dangkal (5 km dari garis pantai) telah diidentifikasi sesuai (suitable) untuk usaha budidaya laut (mariculture) seperti ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, abalone dan rumput laut yang bernilai ekonomi tinggi, dengan potensi produksi sekitar 47 juta ton/tahun. Lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang, bandeng, kepiting, rumput laut dan biota perairan lainnya sekitar 1,22 juta ha dengan potensi produksi sebesar 6 juta ton/tahun. Laut kita juga memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia yang senyawa aktif (bioactive substances)nya terdapat di ekstrak dan digunakan untuk raw materials industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, kertas, bioenergi dan industri hilir lainnya. Potensi total luas perairan umum, kolam dan mina padi (sawah) yang dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya adalah 139.336 ha, 541.100 ha dan 1.538.379 ha (DKP, 2007). Potensi produksi perikanan budidaya dari ketiga jenis perairan darat tersebut adalah sekitar 5 juta ton/tahun. Dengan demikian, potensi total produksi perikanan budidaya dari perairan laut, tambak (brackichwater ponds), dan perairan darat menjadi 58 juta ton/tahun. Sementara, tingkat pemanfaatan (total produksi)nya hingga kini baru mencapai 2,6 juta ton (5% dari potensial total produksi).
Saat ini indonesia merupakan produsen ikan terbesar kelima di dunia dengan volume produksi 7,4 juta ton; 4,8 juta ton (65%) berasal dari perikanan tangkap dan 2,6 juta ton (3,5%) dari perikanan budidaya. Sementara RRC dengan luas wilayah laut jauh lebih kecil ketimbang indonesia, kini menjadi produsen ikan terbesar di dunia dengan total produksi 41 juta ton pada 2006.namun, tingkat produksi perikanan RRC tersebut sudah mencapai puncaknya (Personal Communocation dengan Menteri Pertanian, kehutanan dan Perikanan RRC, juni 2004). Oleh sebab itu, bila kita mampu meningkatkan produksi perikanan dari budidaya laut, payau dan perairan tawar sebesar 65% dari potensi total (37,7 juta ton) ditambah 6 juta ton/tahun dari produksi perikanan tangkap lestari, maka kita bakal mengungguli RRC dan menjadi produsen perikanan nomor nomor wahid.
Sekedar ilustrasi betapa dasyatnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah budidaya tambak udang dan rumput laut. Lahan pesisir potensial untuk tambak udang sekitar 1,22 juta ha, dan baru diusahakan 400.000 ha dengan produktivitas rata- rata 0,6 ton/ha/tahun,mestinya kita dapat mengembangkan usaha tambak udang minimal seluas 500.000 ha dengan produktivitas rata-rata 2 ton/ha/tahun. Berarti akan dihasilkan 1 juta ton udang /tahun dengan devisa US$ 6 milyar/tahun. Usaha tambak udang dapat menyerap tenaga kerja sekitar 3 juta orang. Rumput laut dengan segenap produk hilirnya bahkan dapat menghasilkan devisa lebih besar, US$ 8 milyar/tahun dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 2 juta orang. Padahal seperti yang telah diuraikan di atas, masih banyak komoditas perikanan budidaya lainnya yang harganya tinggi dan laku di pasar domestik maupun eksport, antara lain ikan kerapu, baronang, kakap, gobia, ikan hias, patin jambal, nila, kepiting dan abalone. Lebih dari itu, bisnis perikanan budidaya juga dapay membangkitkan berbagai macam kegiatan ekonomi lainnya berupa: (1) industri hulu (pakan, kincir air tambak, generator dan lainnya); (2) industri hilir (pabrik es, cold storage, pabrik pengolahan hasil perikanan dan lainnya); (3) Industri bioteknologi; (4) jasa transportasi; (5) hotel dan restoran; (6) jasa perdagangan; (7) jasa keuangan dan sebagainya.
Oleh sebab itu, jika dikelola secara benar, cerdas dan profesional, perikanan budidaya tidak hanya dapat membantu mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang merupakan permasalahan utama bangsa ini; tetapi juga meningkatkan perolehan devisa , mengembangkan ekonomi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkualitas dan berkelanjutan.
Mensinergikan produksi dan pasar
Dibalik prospek bisnis (ekonomi) perikanan budidaya yang sngat menjanjikan sebagaimana diuraikan di atas, pada kenyataannnya masih banyak permasalahan dan kendala yang bukan saja menghambat, tetapi juga dapat mengamcam kelestarian (sustainability) dan keuntungan (profitability) usaha ekonomi ini. Sebut saja, pencemaran parairan, rebutan ruang usaha dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, ketersediaan induk dan benih berkualitas (quality feed) masih menjadi momok yang acap kali menyebabkan kegagalan panen dan kelestarian produksi perikanan budidaya. Sangat terbatasnya sumber modal, teruatama dari lembaga perbankan, khususnya bagia pembudidaya ikan skala kecil, membuat mereka kewalahan untuk mengembangkan skala usahanya yang dapat meningkatkan kesejahteraannya secara signifikan. Infrastruktur seperti jaringan irigasi, jalan listrik, telekomunikasi dan air bersih juga masih menjadi kendala bagidaya saing dan keberlanjutan usaha perikana budidaya. Dalam pada itu ketidaksinkronan (missmacth) antara produsen dan konsumen (pasar) baik secara spatial (lokasi) maupun temporal (waktu) juga masih menjadi persoalan klasik yang belum terpecahkan secara tuntas.
Oleh karena itu, agar perikanan budidaya menjadi sektor ekonomi andalan yang berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan, maka pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa setiap sistem produksi perikanan budidaya (mariculture, tambak, kolam air tawar, periaran umum, mina padi dan sebagainya) harus produktif, efisien dan lestari yang dapat menghasilkan produk perikanan budidaya yang kompetitif. Yaitu produk perikanan budidaya yang berkualitas tinggi, harga relatif murah dan dalam jumlah mencukupi sesuai kebutuhan konsumen (pasar). Untuk itu, di setiap kawasan/ sentra produksi perikanan budidaya (desa, kabupaten/kota, propinsi maupaun secara nasional) harudmenerapkan the best Aquaculture Practices (pedoman pelaksanaan perikanan budidaya terbaik) yang meliputi : 1) penggunaan benih unggul; 2) manajemen pemberian pakan berkualitas; 3) pengendalian hama dan penyakit terpadu; 4) pengelolaan tanah dan kualitas air; dan 5) tata letak dan teknik perkolaman (pond enginering) yang baik dan benar seperti yang telah diterbitkan DKP sejak 2003. balai benih dan pabrik pakan di seluruh nusantara meski kita sempurnakan dan kita bangun yang baru, agar dapat memasok kebutuhan benih dan pakan ikan berkualitas dengan harga terjangkau (sesuai nilai keekonomian) di setiap kawasan produksi. Pemerintah (DKP) dan Pemda juga harus menyediakan semua teknologi budidaya dan tenaga penyuluh profesional yang dibutuhkan oleh para pembudidaya ikan diseluruh tanah air.
Sebagaimana tercantum dalam UU No.31/ 2004 tentang perikanan, bahwa kawasan perikanan budidaya mesti dilindungi dari praktik konversi lahan untuk keperluan industri, pertambangan, pemukiman dan peruntukan pembangunan lainnya. Selain itu, kerjasama dengan instansi terkait (seperti Deperin, Meneg, Lingkungan Hidup, Dept. ESDM, Dephub dan Depdagri), Pemda dan kalangan industri harus terus dikembangkan guna mencegah terjadinya pencemaran yang dapat menghancurkan usaha perikanana budidaya. Dengan mengaplikasi the best Aquaculture Practices, tata ruang wilayah yang melindungi sistem usaha perikanan budidaya dan pengendalian pencemaran, diyakini bahwa kegiatan produksi perikanan budidaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Apabila pemerintah dan Pemda bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan swasta besar mampu memasok segenap sarana produksi (Production inputs), terutama benih dan pakan berkualitas, serta teknologi budidaya secara memadai, maka bisnis perikanan budidaya juga bakal efisien (menguntungkan) dan berdaya saing baik di pasar domestik maupun pasar global.
Kedua, kita harus memastikan bahwa setiap produk/ komoditas yang dihasilkan oleh produsen (pembudidaya ikan) dapat diserap pasar dengan harga yang menguntungkan produsen. Untuk itu, pemerintah harus memfasilitasi agar disetiap kawasan produksi perikanan budidaya terdapat pembeli (buyers) yang saling menguntungkan dengan para produsen. Para pengusaha yang bergerak dibidang budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan harus proaktif dan inovatif dan bekerjasama sinergis, sihingga mampu menghasilkan berbagai produk perikanan yang berdaya saing tinggi baik di pasar domestik maupun global.
Ketiga, dalam jangka waktu oendek (satu sampai lima tahun ke depan), kita harus terapkan pendekatan terpadu (sinergi) produksi dan pasar seperti diuraikan pada resep (jurus) satu dan dua di atas untuk komoditas perikanan budidaya unggulan, antara lain : udang, kerapu, nila, patin, rumput laut, kerang mutiara, abalone dan kepiting.
Keempat, dalam jangka panjang , tetapi sejak sekarang harus sudah dimulai, kita mengmbangkan spesies-spesies biota perairan yang potensial untuk dibudidayakan guna memenuhi kebutuhan bahan pangan, bahan farmasi, bahan dasar industri bioteknologi lainnya dan energi (seaweeds and seagrasses). Penelitian dan pengmbangan (reseach and development) untuk spesies budidaya baru tersebut hendaknya mencakup aspek teknis (genetika, nutrisi, hama dan penyakit, kualitas air, dinamika ekosistem periaran, pond engineering dan lainnya), nilai gizi dan nilai guna lainnya, penanganan dan pengolahan hasil (handling and processing), pemasaran (domestik dan global), sosial – ekonomi – budaya masyarakat, dan kelembagaan.
Dukungan Politik – Ekonomi
Pengawalan teknis seperti dideskripsikan di atas hanya akan berhasil maksimal, jika mendapat dukungan memadai dari kebijakan politik ekonomi nasional. Yang dimaksud kebijakan politik - ekonomi mencakup kebijakan fiskal – moneter, perkreditan (modal), infrastruktur, tata ruang, keamanan dan lain sebagainya. Lebih dari itu, diera otonomi daerah dan demokrasi ini , pendekatan pembangunan yang bersifat top – down dan sentralistik meski kita ganti dengan pendekatan yang lebih bersifat partisipatif dan bottom – up. Namun demikia, mekanisme kerja demokrasi (otoda, partisipasi masyarakat) tidak boleh bersifat anarkis , seperti yang kita saksikan sejak bergulirnya reformasi. Kebenaran ilmiah, teknis dan profesionalisme harus tetap menjadi dasar proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan perikanan budidaya di tanah air. Selanjutnya, pemerintah mesti jadi teladan teknis dan moralitas agar fungsinya sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator berjalan maksimal dan dituruti rakyat. Sebaliknya, rakyatpun harus mentaati pemerintah, manakala pemerintahnya benar, adil dan bekerja profesional bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa tercinta ini.
Dengan perkataan lain, supaya kita bisa menjadikan akuakultur sebagai sektor andalan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan, setiap stakeholders (pemangku kepentingan) dalam sistem usaha (bisnis) akuakultur, mulau dari pengusaha hatchery, pakan, pembudidaya, suplier, pengolah, eksportir, peneliti sampai pemerintah harus menyumbangkan/ mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bekerjasama secara sinergis (saling menguntungkan). Etos kerja (corporate culture) semacam inilah yang tumbuh kembang di Norwegia, Kanada, Chili, Jepang, taiwan, Thailand, dan negara lainnya, yang telah berhasil menjadikan akuakultur sebagi leading sector perekonomian nasional. Pada hemat saya, disinilah peran sentral MAI untuk mewujudkan Indonesian Aquaculture Incorporated. Tanpa semangat ini, rasanya sukar untuk kita bisa mentranformasikan potensi akuakultur indonesia, yang ibarat “raksasa tidur” menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Penulis:
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri (Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
Disampaikan dalam acara penerimaan Anugerah MAI Award pada konferensi Aquaculture Indonesia,
Tanggal 8-9 Juli 2008 di Bandar Lampung

1 komentar:

alfi kusuma mengatakan...

Hebat bener tulisanmu,punya otak dr mna bs nulis kyak gitu,,,(he..he...He)