Kamis, 26 Februari 2009

Episode baru

Telanjang dan Menangis
Pengantar:
Ketika duduk di depan komputer untuk mulai menulis renungan harian, entah kenapa saya teringat orang-orang tercinta yang lebih dahulu dipanggil oleh Ilahi.
Tanpa bermaksud mendramatisir sebagian cuplikan-cuplikan dari perjalanan hidup ini yang sudah secara sunnatullah berlaku seperti itu, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan apa dan bagaimana perputaran hidup ini. Saya mengawali renungan kita sengaja mengambil judul telanjang dan menangis sekedar mengingatkan kita bahwa siapa pun kita pernah melewati fase ini, fase ketika kita masih bayi merah saat baru keluar dari rahim ibu menghadapi dunia dengan menangis. Dan pada akhirnya, seberapa pun kita mencintai dan dicintai oleh dunia, pada akhirnya kita juga akan menjalani akhir siklus kehidupan ini, kembali ke hadirat Ilahi. Saya katakan siapa pun dia, ya siapapun mulai dari seorang yang berkedudukan sangat tinggi sampai berpredikat sampah masyarakat pun pernah menjadi bayi merah, keluar dari rahim ibunya berlumuran darah, telanjang dan menangis. Kemudian pada saat tiba sang bayi ini harus mengakhiri perjalanan hidupnya. Inilah universalisme siklus kehidupan. Kalau kita lihat kembali, ternyata kita akan menemukan pola yang sama untuk mengawali dan mengakhiri perjalanan hidup ini, yaitu keluar dari rahim ibu dalam keadaan telanjang dan menangis kemudian secara perlahan si bayi merah tak berdaya ini belajar membuka mata dan telinganya untuk melihat dan mendengar suara-suara dunia. Dengan bantuan dan dukungan kasih sayang orang-orang tercinta, si jabang bayi ini belajar menghadapi dunia dan kemudian bahkan berani menantangnya karena ia telah menjelma menjadi: ANDA, menjadi kita! Tapi pernahkan ada kesadaran pada bahwa kita yang perkasa ini, bahkan dengan kesombongan yang terkadang
menembus langit tadinya hanyalah bayi lemah? Sebenarnya satu saja pemahaman kita mengenai hakikat hidup ini, yaitu kesadaran bahwa kita menjalani hidup dengan awal yang sama dan juga akan berakhir dengan akhir yang sama, yaitu mengawali dengan tangis dan mengakhiri dengan kematian maka kita akan dapat menjadi orangorang yang rendah hati bersih dari sifat-sifat besar diri, bersih dari sifat menyombongkan diri dan sifat mengecilkan orang lain. Sayangnya kesadaran seperti ini seringkali tertutup oleh gemerlapnya status keduniaan kita yang kasat mata. Lebih sering kita merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap orang lain lebih rendah dari kita hanya gara-gara kita mengganggap diri memiliki lebih banyak harta dari orang lain jadi merasa berhak atas penghormatan berlebih dari orang lain. Bahkan keberadaan kita di proyek ini pun seringkali menipu kita.
‘Ala kulli hal, mari kita banyak-banyak fahamkan diri mengenai tujuan hidup kita agar terbebas kita dari sifat-sifat sombong dan merendahkan orang lain.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30)
Billahittaufiq Wal Hidayah

Memahami Hidup
Masalah bisa kita definisikan sebagai suatu keadaan di mana apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dan di dalam kehidupan ini siapa pun kita pasti pernah mengalami keadaan ini. Setiap kita pasti pernah mengalami keadaan di mana harapan-harapan kita seperti membentur tembok-tembok kenyataan yang kejam. Dan harapan seringkali menjadi mimpi-mimpi yang menyesakkan. Cobaan datang silih berganti dan kegagalan selalu membayangi langkah-langkah diri. Pikiran dipenuhi tanda-tanya dan kegelisahan yang menghimpit dada. Dan sekali lagi, dalam hidup yang selalu bergerak ini, tidak ada orang yang imun, bebas dari masalah hidup dan kehidupan.
Menghadapi masalah dan cobaan hidup, banyak ragam sikap yang ditunjukkan oleh orang yang mengalami masalah ini. Bagi orang yang masih memiliki pegangan iman dan pandangan jauh ke depan, masalah dan cobaan dapat dipandangnya sebagai ujian yang akan dihadapinya dengan kesabaran dan kemudian akan mengantarkannya menjadi hamba yang lulus dalam cobaan kehidupan. Untuk orang-orang seperti ini, Allah SWT menegaskan bahwa ‘mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang – orang yang mendapat petunjuk’ (QS. Al Baqarah [2]:157) Akan tetapi tidak sedikit orang yang justru tidak dapat menerima cobaan berupa masalah ini, tidak dapat menghadapi masalah yang menimpa mereka. Stress berlebihan dan salah pelarian membuat mereka semakin terpuruk dalam kubangan masalah yang tak terpecahkan. Mereka akan semakin sulit keluar dari cengkeraman masalah yang dihadapinya. Sikap mereka telah melahirkan masalah baru di atas masalah lama. Ini membuat mereka semakin terpuruk. Yang lebih parah kemudian, banyak di antara mereka yang menghujat Tuhan. Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan kasih sayang tak terhingga mereka anggap tidak adil karena menimpakan masalah yang bertubi-tubi dan tak terpecahkan. Padahal sebenarnya, kalau mau sedikit merenung dengan hati dingin tanpa emosi berlebihan dan mengedepankan sabar untuk dapat berpikir dengan dada lapang, maka kita akan temukan bahwa hidup ini persis seperti rajutan sulaman. Kadang-kadang karena ketidakpahaman kita terhadap keinginan si tukang sulam, tidak paham mengenai pola apa yang sedang dibuatnya, sewaktu
belum jadi dan kebetulan menemukan warna-warna gelap, kita akan cenderung protes. Kita
anggap si tukang sulam tidak adil karena menempatkan warna-warna yang salah. Ini semata-mata karena keterbatasan pengetahuan kita tentang desain dan materi sulaman. Seandainya
pengetahuan kita sama dengan pengetahuan si tukang sulam, mungkin kita tidak akan terlalu
banyak protes. Sayangnya kita tidak mengetahui desain apa yang sedang dibuat oleh si tukang sulam ini. Baru setelah jadi, setelah kita dapat melihat barulah kita mengakui keindahan sulaman itu. Demikian juga hidup ini. Warna-warna hidup tidak pernah seragam tetapi selalu berubah-ubah. Berbagai warna menyatu dan membentuk susunan yang saling melengkapi. Ada kalanya yang lebih dominan warna bahagia, tetapi seringkali warna yang diselipkan adalah warna-warna duka.
Di sinilah dibutuhkan suatu keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT sedang menghiasi sulaman hidup kita dengan warna berbeda-beda untuk mempertegas keindahan hasil sulaman pada akhirnya.
Pemahaman yang perlu ditanamkan dalam menghadapi hidup ini adalah pemahaman bahwa apa saja yang ditentukan oleh Allah itulah yang terbaik bagi kita. Inilah husnodzon, berbaik sangka terhadap apa saja ketentuan Ilahi. Cobaan dan masalah mengharuskan kita untuk bersabar dan berbaik sangka bukan menyesali bukan pula berputus asa. Yakinlah bahwa Allah SWT tidak membebani seorang hamba melainkan sesuai dengan kesanggupan hamba tersebut untuk menanggungnya (QS. Al Baqarah [2]:286). Bahkan melihat pernyataan Ilahi ini, seharusnya kita dapat berbangga dengan beratnya cobaan yang kita hadapi. Itu artinya Allah SWT masih menganggap kita mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang dibebankan kepada kita.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir (QS. Al Baqarah [2]:286). Amien Billahittaufiq Wal Hidayah.

Tidak ada komentar: